Hi and welcome to ceritamaja!
Siang itu mendadak ada telegram masuk dari teman lama, “Mas ayo kita hiking, mumpung aku lagi di Bandung”. Kebetulan hari itu memang lagi libur Natal, dan pas banget long weekend. Tanpa berpikir lama, “yaudah ayok!”
Di beberapa cerita sebelumnya seperti hiking ke Gunung Papandayan, dan Tangkuban Perahu saya juga berangkat bareng si Riza ini, pokoknya anti wacana. Setelah kasih jawaban ayok tadi, baru kemudian kami mulai mencari info rute dan titik mulainya darimana. Memang di hiking terakhir setelah ke Tangkuban Perahu, kami sempet berpikir untuk mencoba hiking ke Sunan Ibu tapi waktu itu belum ada bayangan secara teknisnya seperti apa.
Malamnya kami sudah mendapatkan gambaran detail bagaimana kami akan hiking ke Sunan Ibu. Selain itu juga kalau kondisi memungkinkan, kami akan lanjut juga ke Puncak Sunan Rama, sebuah puncak dari Gunung Patuha.
Rute Menuju Titik Kumpul Pendakian
25 Desember 2023, kami berangkat dari Bandung sekitar pukul 7 pagi, memang agak kesiangan karna ada aktivitas pagi hari yang wajib untuk ditunaikan. Titik mulai trekking hari itu adalah sebuah basecamp di desa cipanganten, basecamp ini terletak tepat di depan masjid yang ada di link google maps tersebut.
Sebagai gambaran untuk kalian yang berangkat dari arah Bandung ataupun dari arah pintu tol Soreang, bisa mengarahkan maps ke arah Ecopark Curug tilu. Gerbang masuk menuju desa Cipanganten berada di depan ecopark tersebut. Untuk yang bawa mobil, sebaiknya parkir saja disekitar gerbang masuk tersebut, karena akses ke desa Cipanganten sangat sempit cuma cukup satu mobil saja. Untuk yang bawa motor bisa masuk sampai ke parkiran basecamp.

Setelah belok kiri dan lanjut lurus dari titik ini, nanti akan ada portal security. Disini kalian wajib untuk isi buku tamu, awalnya kami kira pos tersebut adalah loket tiket masuk, ternyata bukan. Setelah mengisi buku tamu, gerbang portal dibukakan oleh bapak security yang ramah, ternyata buku tamu ini adalah buku tamu kunjungan ke perkebunan teh. Karena sebelum sampai di desa Cipanganten, kami menemukan salah satu pabrik pengolahan daun teh yang kemungkinan dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
Sekitar 15 Menit dari portal teresebut, akhirnya kami sampai di basecamp yang sekaligus tempat untuk menitipkan sepeda motor sebelum naik ke Sunan Ibu. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi, artinya perjalanan kami memakan waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai di basecamp ini. Memang bisa dibilang lumayan cepat, karna kondisi lalu lintas pagi itu juga tidak terlalu ramai seperti hari-hari libur panjang biasanya.
Rute Hiking
Untuk rute hiking kali ini, walaupun Riza bawa rute GPS offline di smartwatchnya, ternyata dari titik kumpul saja kami harus memakai cara lama, yaitu GPS lokal alias tanya penduduk sekitar. Tidak seperti tempat-tempat hiking yang sudah populer di Kota Bandung, rute hiking ke Sunan Ibu via cipanganten ini belum terlalu ramai (pada waktu kami kesana ya). Secara tidak langsung, karena belum begitu ramai pengunjung, fasilitas seperti penunjuk jalan pun juga belum maksimal. Sejauh penglihatan kami, penanda arah masih sangat minim waktu itu, hanya mengandalkan pita-pita atau tali yang diikatkan di pohon.

Jika dilihat dari gambar maps diatas, memang sepertinya rute hiking via Desa Cipanganten ini tidak terlalu panjang. Tapi, ketinggian puncah Sunan Ibu yang berada di ketinggian 2343 mdpl ini elevasinya lumayan tinggi dari titik mulai kami. Jadi siapkan lutut kalian untuk nanjak terus tanpa bonus, eh tapi ada bonus sih warmindo di tengah-tengah kebun teh. 😁
Warna merah menggambarkan rute yang kami ambil untuk menuju ke Puncak Sunan Ibu, dan warna biru adalah rute menuju Puncak Sunan Rama. Beberapa orang rela camping di sekitar area kebun teh untuk menikamati indahnya Sunrise dari Puncak Sunan Ibu ini. Kali ini kami hanya akan tektok saja, naik turun di hari yang sama.
Kondisi Jalur Menuju Sunan Ibu
Dari titik mulai sampai sekitar 30 menit perjalanan, kami melewati kebun-kebun penduduk yang kebanyak ditanami sayuran. Di sepanjang rute ini, beberapa kali kami masih berbagi jalan dengan motor penduduk yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa untuk menerjang jalanan yang terjal dan menanjak. Hasil bumi ataupun pupuk mereka bawa menggunakan motor, walaupun ada beberapa orang yang juga membawanya dengan digendong ataupun dipanggul diatas kepala.
Setelah 30 menit, kami sudah melewati kebun penduduk dan lanjut dengan mendaki jalan setapak yang di kiri dan kanannya hanya ada pepohonan dan rumput liar. Jalanan disini sudah mulai bertemu yang licin, kadang berbatu. Penujuk jalan hanya dengan melihat pita-pita merah yang sebelumnya dipasang untuk kegiatan tertentu.
Sekitar 45 menit kemudian, kami sudah mulai melihat kebun teh dan juga warmindo yang menjual berbagai macam gorengan dan minuman sachet. Kami hanya duduk sebentar di warung ini sekitar 5 menit untuk menikmati pemandangan kebun teh. Kemudian lanjut lagi menyusuri kebun teh sekitar 15 menit.

Kurang lebih 2 jam sudah kami berjalan santai ini, akhirnya sebelum menuju ke Puncak Sunan Ibu ada bapak-bapak mengisaratkan untuk kami membayar uang simaksi. Kalian pasti juga bingung, lho kok tiba-tiba simaksi, emang di basecamp belum?
Waktu itu kami juga bingung, tapi karena memang cuma bayar 11 ribu rupiah per orang, akhirnya kami kasih aja dan lanjutkan perjalanan. Setelah dipikir-pikir, mungkin memang karna rute ini belum populer jadi belum ada organisasi yang mengatur pertiketan, dan lainnya. Mungkin pada waktu itu masih inisiatif dari masyarakat sekitar atau bisa jadi ya memang tarifnya segitu dan simaksinya juga ditengah jalan (who knows).
Dari pinggir kebun teh menuju Puncak Sunan Ibu, trek mulai ada bonusnya. Walaupun sedikit tapi cukup menyenangkan karna setelah sepanjang perjalanan nanjak terus, akhirnya dapat jalanan datar juga. Kurang lebih 10 menit dari titik simaksi tadi sampailah kami di Sunan Ibu!
Pemandangan di Sunan Ibu
Kalau kalian pernah berkunjung ke Kawah Putih, tentunya sudah tidak asing lagi dengan pemandangan kepulan asap belerang yang masih aktif dari area pinggir kawah. Dari puncak ini kalian bisa menikmati pemandangan itu juga dengan pengalaman dan sudut pandang yang berbeda. Pastinya dong, kalian sekarang melihat pemandangan yang sama tapi dari atas, lebih luas, dan lebih banyak yang bisa dilihat.
Kondisi Rute Menuju Sunan Rama
Setelah puas berfoto dan istirahat sejenak di puncak Sunan Ibu, melihat jam masih sekitar setengah 12, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Patuha alias puncak Sunan Rama. Trek menuju sunan rama diawali dengan menuruni bukit sisi kiri Sunan Ibu, kemudian melewati padang rumput yang banyak pohon pakisnya. Sampai disini jalan masih sangat nikmat, banyak turunan dan jalan datar.
Lanjut dari area padang rumput ini, menuju ke puncak Sunan Rama. Setelah 10 menit perjalanan kami menyadari sepertinya sangat jarang orang yang hiking sampai sini, karena jalurnya sangat tidak terawat. Disepanjang jalanan sempit dan tanjakan tajam ini terdapat banyak pohon yang tumbang. Tidak jarang kami harus menerobos, dan merangkak untuk melewati pohon-pohon ini. Sampai kemudian kami melewati tanjakan curam, terdengar suara “KREKK”. Riza langsung menoleh dan bilang “Mas Celanaku sobek di pangkal paha”, sontak kami berdua langsung tertawa tak henti-hentinya.
Setelah puas tertawa, kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya setelah kurang lebih 30 menit perjalanan dari Sunan Ibu, kami sampai juga di Puncak Gunung Patuha ini. Di puncak gunung patuha ini tidak terlihat apa-apa, karna waktu itu langit sudah mulai mendung dan turun kabut. Kami hanya sempat ngobrol dengan beberapa trail runner dari Bandung dan gantian saling ambil foto.
Biaya
Untuk biaya yang kami temui diperjalanan sepertinya hanya ada 2 komponen yang wajib yaitu biaya titip kendaraan dan simaksi. Untuk biaya titip kendaraan kami waktu itu kami kasih 10 ribu rupiah ke teteh penjaga basecamp, dan biaya simaksi seperti yang dijelaskan diatas adalah 11 ribu rupiah.
Sedikit saran untuk teman-teman pembaca, kalau kalian pergi ke sebuah lokasi yang disitu ada warung penduduk lokal, sempatkanlah untuk jajan. Walupun sedikit, itu akan membantu menggerakkan roda perekonomian warga lokal.
Sampai jumpa di cerita berikutnya!